Psychological Well-Being pada Gay
- Latar Belakang
Indonesia
kental dengan budaya islam karena masyarakat Indonesia mayoritas beragama
islam. Hal ini bertentangan dengan homoseksual
yang tidak sejalan dengan agama
dan budaya di Indonesia. Sehingga orang yang mengalami homoseksual terlihat
aneh di mata masyarakat Indonesia. Biasanya orang-orang yang mengalami homoseksual mempunyai komunitasnya
sendiri. Di pekanbaru komunitas LGBT yaitu ikatan payung sehati.
Masyarakat
masih menggangap aneh gay atau lesbi. Hal ini dikarenakan ketidakwajaran
orientasi seksual mereka. Perbedaan mereka dengan manusia normal lainya yang
mengakibatkan kaum gay sulit diterima dimasyarakat. dalam agama juga melarang
homoseksual seperti yang dikemukakan dalam ayat Al-Qur’an bahwa setiap manusia
di ciptakan berpasang-pasangan. Ayat ini menggambarkan bahwa manusia itu memiliki pasangan laki-laki dan perempuan.
Dalam dunia psikologi
hingga tahun 1973, homoseksualitas,hasrat atau aktivitas seksual yang ditujukan
pada sesama jenis, tercantum dalam DSM sebagai salah satu bentuk penyimpangan
seksual (sampai pada DSM-III). Namun dalam edisi DSM selanjutnya secara
bertahap homoseksualitas dihapuskan dari daftar gangguan jiwa. Alasan yang
dikemukakan sebagian karena tekanan dari berbagai kelompok kaum homoseksual dan
banyaknya debat, serta kontroversi dari kelompok profesional psikiatri mengenai
pola emosi, perilaku dan penyebab dari homoseksual (Davison, G. C, Neale, J. M
, Kring, A. M. , 2004 dalam Olivia :2012).
Individu
gay, lesbi atau biseksual sering mengalami diskriminasi. Di masyarakat
Indonesia sering didengar larangan dan ancaman dari para pemimpin agama, yang
tanpa berpikir panjang dan membaca lebih cermat teks-teks keagamaan dengan
mudahnya menyatakan mereka sebagai orang berdosa. Hal ini sangat menyakitkan
bagi kaum gay, lesbi dan biseksual di Indonesia. Tidak adanya pengakuan dalam
kehidupan bermasyarakat juga merupakan perilaku diskriminatif. Media massa
jarang membahas isu-isu yang penting untuk kaum gay, lesbi dan biseksual
(Oetomo, 2006).
Kaum
homoseksual di Indonnesia cenderung menutup diri tentang indentitas mereka
kepada masyarakat. Hal ini di sebabkan karena homoseksual masih belum bisa diterima oleh masyarakat. Kinsey dalam
penelitian yang dilakukan di Amerika menyatakan sekitar 1% individu mengatakan
bahwa diri mereka adalah biseksual yaitu 1,2% pria dan 0,7% wanita (dalam
Santrock, 2003). Di Indonesia sendiri belum ada data statistik yang menunjukkan
presentasi biseksual karena wacana sosial tentang biseksual masih terbatas
(Oetomo, 2006).
Dalam
lingkungan sekitarnya individu mengenal hubungan emosional antara pria dan
wanita atau yang sering disebut dengan heteroseksual. Fenomena sosial lain yang
ada, dikenal pula hubungan emosional antara pria dengan pria (gay) atau wanita dengan wanita (lesbian)
yaitu kaum penyuka sesama jenis yang
sering disebut homoseksual (Olivia
:2012)
Psychological
well-being (yang selanjutnya disebut dengan PWB)
merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari.
Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif, misalnya ketidakpuasan
hidup, kecemasan dan sebagainya sampai ke kondisi mental positif, misalnya
realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn dalam Ryff & Keyes,1995).
Ryff (1989) menyebutkan bahwa PWB terdiri dari enam
dimensi, yaitu penerimaan diri (self-acceptance), memiliki hubungan
positif dengan orang lain (positive relations with others), otonomi (autonomy),
penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose
in life) dan pertumbuhan pribadi (personal growth). Individu
dikatakan memiliki kesejahteraan psikologis apabila dirinya memiliki penilaian
positif terhadap diri sendiri, mampu bertindak secara otonomi, menguasaim
lingkungannya, memiliki tujuan dan makna hidup, serta mengalami perkembangan
kepribadian (Ryff, 1989).
Berdasarkan
pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana gambaran psychological well-being pada gay.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar