26 Apr 2013

psychological well-being pada Gay


Psychological Well-Being pada Gay
  1. Latar Belakang
Indonesia kental dengan budaya islam karena masyarakat Indonesia mayoritas beragama islam. Hal ini bertentangan dengan homoseksual yang tidak sejalan dengan agama dan budaya di Indonesia. Sehingga orang yang mengalami homoseksual terlihat aneh di mata masyarakat Indonesia. Biasanya orang-orang yang mengalami homoseksual mempunyai komunitasnya sendiri. Di pekanbaru komunitas LGBT yaitu ikatan payung sehati.
Masyarakat masih menggangap aneh gay atau lesbi. Hal ini dikarenakan ketidakwajaran orientasi seksual mereka. Perbedaan mereka dengan manusia normal lainya yang mengakibatkan kaum gay sulit diterima dimasyarakat. dalam agama juga melarang homoseksual seperti yang dikemukakan dalam ayat Al-Qur’an bahwa setiap manusia di ciptakan berpasang-pasangan. Ayat ini menggambarkan bahwa manusia itu  memiliki pasangan laki-laki dan perempuan.
           Dalam dunia psikologi hingga tahun 1973, homoseksualitas,hasrat atau aktivitas seksual yang ditujukan pada sesama jenis, tercantum dalam DSM sebagai salah satu bentuk penyimpangan seksual (sampai pada DSM-III). Namun dalam edisi DSM selanjutnya secara bertahap homoseksualitas dihapuskan dari daftar gangguan jiwa. Alasan yang dikemukakan sebagian karena tekanan dari berbagai kelompok kaum homoseksual dan banyaknya debat, serta kontroversi dari kelompok profesional psikiatri mengenai pola emosi, perilaku dan penyebab dari homoseksual (Davison, G. C, Neale, J. M , Kring, A. M. , 2004 dalam Olivia :2012).
Individu gay, lesbi atau biseksual sering mengalami diskriminasi. Di masyarakat Indonesia sering didengar larangan dan ancaman dari para pemimpin agama, yang tanpa berpikir panjang dan membaca lebih cermat teks-teks keagamaan dengan mudahnya menyatakan mereka sebagai orang berdosa. Hal ini sangat menyakitkan bagi kaum gay, lesbi dan biseksual di Indonesia. Tidak adanya pengakuan dalam kehidupan bermasyarakat juga merupakan perilaku diskriminatif. Media massa jarang membahas isu-isu yang penting untuk kaum gay, lesbi dan biseksual (Oetomo, 2006).
Kaum homoseksual di Indonnesia cenderung menutup diri tentang indentitas mereka kepada masyarakat. Hal ini di sebabkan karena homoseksual masih belum bisa diterima oleh masyarakat. Kinsey dalam penelitian yang dilakukan di Amerika menyatakan sekitar 1% individu mengatakan bahwa diri mereka adalah biseksual yaitu 1,2% pria dan 0,7% wanita (dalam Santrock, 2003). Di Indonesia sendiri belum ada data statistik yang menunjukkan presentasi biseksual karena wacana sosial tentang biseksual masih terbatas (Oetomo, 2006).
Dalam lingkungan sekitarnya individu mengenal hubungan emosional antara pria dan wanita atau yang sering disebut dengan heteroseksual. Fenomena sosial lain yang ada, dikenal pula hubungan emosional antara pria dengan pria (gay) atau wanita dengan wanita (lesbian) yaitu kaum  penyuka sesama jenis yang sering disebut homoseksual (Olivia :2012)
Psychological well-being (yang selanjutnya disebut dengan PWB) merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif, misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn dalam Ryff & Keyes,1995).
Ryff (1989) menyebutkan bahwa PWB terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan diri (self-acceptance), memiliki hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life) dan pertumbuhan pribadi (personal growth). Individu dikatakan memiliki kesejahteraan psikologis apabila dirinya memiliki penilaian positif terhadap diri sendiri, mampu bertindak secara otonomi, menguasaim lingkungannya, memiliki tujuan dan makna hidup, serta mengalami perkembangan kepribadian (Ryff, 1989).
Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana gambaran psychological well-being pada gay.




Tidak ada komentar: